Surat Untuk Firman
Sebuah blog yang ditulis seorang novelis, ES Ito, menyebar cepat di dunia maya. Judulnya ‘Surat Untuk Firman‘ yang dinilai publik sangat inspiratif. Ito berpesan pada Firman Utina cs, bahwa esensi sepakbola adalah berbagi kegembiraan dengan seluruh rakyat. Tidak ada urusan menang kalah.
Berikut adalah ‘Surat untuk Firman‘ yang di kutip dari www.etonesia.com via detik.com
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di
tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita
menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang
seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah
yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah
generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana
yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas
mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?
Di negeri
permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan.
Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin
mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang
kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi
kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan
kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita
hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan
adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah
persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai
sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada
poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci
muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.
Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu.
Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang
lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana
jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah
memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian
massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada
adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan,
membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan
kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi,
semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk
mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming
bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau
terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka
bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan
gembira.
Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia,
bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola
tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan
menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri
bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di
lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan
kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh
siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan
para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah
kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa.
Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian
mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah
Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah
kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat
dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya,
kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan
kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya
dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala,
bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir,
menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di
Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan
menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan
solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik
kita akan menjadikan kalian teladan!
Read Users' Comments (0)